Mitoni - Tradisi Jawa yang Mulai Hilang
20 Oktober 2017 18:49:35 WIB
Orang Jawa menamai usia kehamilan tujuh bulan itu SAPTA KAWASA JATI. Sapta-tujuh, kawasa-kekuasaan, jati-nyata. Pengertiannya, jika Yang Maha Kuasa menghendaki, dapat saja pada bulan ketujuh bayi lahir sehat dan sempurna. Bayi yang lahir tujuh bulan sudah dianggap matang alias bukan premature. Namun apabila pada bulan ketujuh itu bayi belum lahir, maka calon orang tua atau eyangnya akan membuat upacara mitoni, yaitu upacara slametan atau mohon keselamatan dan pertolongan kepada Yang Maha Kuasa agar semuanya dapat berjalan lancar, agar bayi didalam kandungan beserta ibunya tetap diberi kesehatan serta keselamatan.
Pelaksanaan
Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya angka tujuh. Dasar kreatif, kata bilangan itu kemudian dipakai oleh orang Jawa sebagai simbol yang mewakili kata kerja. Pitu menjadi pitulungan, bermakna mohon berkat pertolongan dari Yang Maha Kuasa.
Tahap pelaksanaannya berurutan, bermula dari siraman, brojolan dan terakhir pemakaian busana. Sangat cocok dilaksanakan pada sore hari, ngiras mandi sore. dan dihadiri oleh segenap sanak kadang, para tetangga serta handai taulan.
Siraman
Siram artinya mandi. Siraman berarti memandikan. Dimaksudkan untuk membersihkan serta menyucikan calon ibu dan bayi yang sedang dikandung, lahir maupun batin. Siraman dilakukan di tempat yang disiapkan secara khusus dan didekor indah, disebut krobongan. Atau bisa juga dilakukan di kamar mandi.
Sesuai tema, jumlah angka tujuh atau pitu kemudian dipakai sebagai simbol. Air yang digunakan diambil dari tujuh sumber, atau bisa juga dari air mineral berbagai merek, yang ditampung dalam jambangan, yaitu sejenis ember bukan dari plastik tapi terbuat dari terakota atau kuningan dan ditaburi kembang setaman atau sritaman yaitu bunga mawar, melati, kantil serta kenanga. Aneka bunga ini melambangkan kesucian. Tujuh orang bapak dan ibu teladan dipilih untuk tugas memandikan. Seolah tanpa saingan, yang pasti terpilih adalah calon kakek dan neneknya.
Tanpa tetek bengek perhiasan seperti anting, ataupun gelang akar bahar, dan hanya mengenakan lilitan jarit (kain batik), calon ibu dibimbing menuju ke tempat permandian oleh pemandu atau dukun wanita yang telah ditugasi.
Siraman diawali oleh calon kakek, berikutnya calon nenek, dilanjutkan oleh yang lainnya. Dilakukan dengan cara menuangkan atau mengguyurkan air yang berbunga-bunga itu ke tubuh calon ibu dengan menggunakan gayung yang dibuat dari batok kelapa yang masih berkelapa atau masih ada dagingnya.
Bunga-bunga yang menempel disekujur badan dibersihkan dengan air terakhir dari dalam kendi. Kendi itu kemudian dibanting kelantai oleh calon ibu hingga pecah. Semua yang hadir mengamati. Jika cucuk atau paruh kendi masih terlihat mengacung, hadirin akan berteriak: “Cowok! Laki! Jagoan! Harno!” dan komentar-komentar lain yang menggambarkan anaknya nanti bakal lahir cowok. Namun jika kendi pecah berkeping-keping, dipercaya anaknya nanti bakal cewek.
Acara ini bisa berlangsung sangat meriah. Para tamu berdesak ingin melihat dan ramai berkomentar, sementara sang MC dengan bersemangat menyiarkan berita seputar pandangan mata.
Siraman selesai, sang calon ibu yang basah kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki segera dikeringkan dengan handuk dan hair dryer supaya tidak perlu kerokan, masuk angin.
Brojolan
Calon ibu kini berbusana kain jarit yang diikat longgar dengan letrek yaitu sejenis benang warna merah putih dan hitam. Merah melambangkan kasih sayang calon ibu, putih melambangkan tanggung jawab calon bapak atau bokap bagi kesejahteraan keluarganya nanti. Warna hitam melambangkan kekuasaan Yang Maha Kuasa yang telah mempersatukan cinta kasih kedua orang tuanya. Tidak ada letrek, janur pun jadi.
Calon nenek memasukkan tropong (alat tenun) kedalam lilitan kain jarit kemudian dijatuhkan kebawah. Ini dimaksudkan sebagai pengharapan agar proses kelahirannya kelak, agar sang bayi dapat mbrojol lahir dengan lancar. Tidak ada tropong, telur ayam pun jadi.
Dilanjutkan dengan acara membrojolkan atau meneroboskan dua buah kelapa gading yang telah digambari lewat lilitan kain jarit yang dikenakan oleh calon ibu. Sepasang kelapa gading tersebut bisa ditato gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Harjuna dan Sembadra atau Panji Asmara Bangun dan Galuh Candra Kirana. Kita tinggal pilih. Para selebriti perwayangan tersebut dikenal berwajah cantik dan ganteng. Harapannya adalah agar anak yang lahir kelak bisa keren seperti mereka. Kelapa yang mbrojol ditangkap oleh salah seorang ibu untuk nantinya diberikan kepada calon bapak.
Calon bapak bertugas memotong letrek yang mengikat calon ibu tadi dengan keris yang ujungnya telah diamankan dengan ditutupi kunyit, atau bisa juga menggunakan parang yang telah dihiasi untaian bunga melati. Ini melambangkan kewajiban suami untuk memutuskan segala rintangan dalam kehidupan keluarga.
Setelah itu calon bapak akan memecah salah satu buah kelapa bertato tadi dengan parang, sekali tebas. Apabila buah kelapa terbelah menjadi dua, maka hadirin akan berteriak: “Perempuan!” Apabila tidak terbelah, hadirin boleh berteriak: “laki-laki!” Dan apabila kelapa luput dari sabetan, karena terlanjur menggelinding sebelum dieksekusi misalnya, maka adegan boleh diulang.
Pemakaian Busana
Selesai brojolan, calon ibu dibimbing keruangan lain untuk dikenai busana kain batik atau jarit berbagai motif, motif sido luhur, sido asih, sido mukti, gondo suli, semen raja, babon angrem dan terakhir kain lurik motif lasem. Kain lurik motif lasem melambangkan cinta kasih antara bapak dan ibunya. Kain-kain yang tujuh motif tersebut dikenakan bergantian urut satu persatu.
Setiap berganti hingga kain yang ke enam, pemandu akan bertanya kepada hadirin sudah pantas atau belum, dan hadirin akan menjawab serentak: “belum!” Ketika kain ke tujuh atau terakhir dikenakan, yaitu kain lurik motif lasem, barulah hadirin menjawab sudah. Sudah pantas dan selayaknya.
Keenam kain lainnya yang tidak layak pakai itu kemudian dijadikan alas duduk calon bapak ibunya. Gaya pendudukan seperti ini disebut angreman, bukan menggambarkan bapak melainkan menggambarkan ayam yang sedang mengerami telurnya.
Sebelum matahari terbenam, sebelum ayam tertidur, seluruh rangkaian upacara ini sudah dapat dirampungkan, tuntas, tas.
Tradisi Mitoni ini akan kembali diangkat pada saat Gelar Potensi Rintisan Desa Budaya, Desa Wonosari yang aka diselenggarakan pada tanggal 27 Oktober mendatang. Dengan digelarnya pementasan tradisi Mitoni ini, diharapakan budaya dan tradisi Jawa tidak hilang ditelan zaman.
nb. dari berbagai sumber
Formulir Penulisan Komentar
Pencarian
Komentar Terkini
Statistik Kunjungan
Hari ini | |
Kemarin | |
Pengunjung |
- Pengumuman Hasil Seleksi Calon Anggota KPPS Kalurahan Wonosari untuk Pilkada 2024
- SELAMAT HARI JADI KABUPATEN GUNUNGKIDUL KE 194
- Tok! - Forum Musrenbangkal Wonosari Sepakati Rancangan RKP & DURKP
- Data PBB Wonosari
- SE Partisipasi Menyemarakkan HUT Ke-79 Kemerdekaan RI Tahun 2024 Kalurahan Wonosari
- DOKUMEN SYARAT PERNIKAHAN
- Penyusunan RKP Kalurahan Wonosari Tahun 2025